Translate

Sabtu

Matahari mulai terik semakin membuat kulitku bertambah coklat. Kukibas-kibaskan topi lusu kearah muka mengusir panas dari tubuh. Aku duduk di trotoar mengistirahatkan tubuh yang mulai terasa letih. Asap-asap kenalpot kendaraan mengepul dijalanan dan bunyinya mendengung berlomba bersama waktu
“belum makan loe?”
“entar aja deh...” jawabku. Baron duduk sejajar denganku di trotoar, usianya sebenarnya dua tahun dibawaku tapi karena muka sangarnya dia kelihatan lebih tua dari umurnya jalananlah membuat dia sekeras batu. Sebagai seorang pengamen suaranya tidak kalah dibanding vokalis-vokalis band didalam negri, jika saja dia mau mandi dua kali sehari wajahnya tidak jelek-jelek amad.
“hallo kak...” anak buah Baron pengamen-pengamen kecil itu ada lima orang duduk didekat kami
 “kita makan bersama...” mereka beramai-ramai membuka empat nasi bungkus dibeli dari hasil mengamen, kami menggabungkan bungkusan-bungkusan itu dan melahapnya bersama. Pemandangan selalu terjadi setiap hari di pinggiran kota-kota besar, persaudaraan-persaudaraan dari pingiran kemiskinan inilah yang tetap membuatku bertahan di tempat ini...
Jika melihat orang-orang rapi di kota ini lalu lalang di jalan raya, memandang kami lewat kaca jendela mobil mewah  tatapan jijik  mereka lemparkan pada kami... ah, dunia betapa tidak adilnya ini?
*          *          *
Kuawali pagiku dengan sarapan ditengah-tengah pasar yang tergenang air sebatas ibu jari, jika orang melewatinya mengenakan celana atau rok panjang harus mengangkatnya lebih tinggi
Dari tempat inilah aku menyadari betapa hidup itu kejam dan dari orang-orang ini juga aku memahami arti persaudaraan dan keperdulian sesungguhnya, mereka  mencari nafka ditempat ini kebanyakan bukanlah orang yang berkecukupan, tapi mereka tidak pernah lupa berbagi...
“nduk... sini” kuhabiskan tegukan tehku dan menelan cepat bakwan terakhirku. Aku menghampiri sumber suara... peria China itu memintaku untuk mengangkat karung-karung gandumnya ke mobilnya dengan gerobakku, aku selalu girang tiap kali dia mengunakan jasaku, dia akan memberikanku uang belasan ribu... lumayan disisihkan untuk membayar sewa gubuk tua itu. Jika orang belum mengenalku di Pasar Tradisional ini mereka akan kebingungan mengenalku aku ini laki-laki atau perempuan, karena tubuh kekar dan rambut cepakku hingga mereka sering mengira aku ini adalah laki-laki. Bekerja sebagai kuli di pasar selama bertahun-tahun membentuk otot-ototku menyembul sana sini dan urat-urat tanganku terlihat jelas mengelilingi lenganku...
Keringat mengucur saat tanganku menahan gerobak berisi karung-karung gandum melewati jalanan-jalanan becek, lalu mengangkatnya ke dalam mobil. Ko Ahong menepuk pundaku dan memberikan uang 20.000 ketanganku
“makasih ko”
“sama-sama” ia kembali kemobilnya dan berlalu dari hadapanku
ada yang sedikit berbeda pagi ini dipasar tradisional  tenda didirikan di sudut pasar dan beberapa mobil putih berjejer...
“ada apa bik? kok berbondong-bondong kesana?”tanyaku pada bik Suhehah. Rasa penasaranku memburu ingin tau
“pengobatan geratis tuh, trus meriksa darah segala macem... bibik sudah nih di kasih obat sama buk dokter itu... luamayan...eh, nduk sana kamu minta vitamin geh biar gak gampang sakit” aku mengangguk, kuseka keringatku  mengucur didahi. Aku tertarik dan melangkah ke posko itu, tempatnya lumayan ramai dan harus pakai kertas antri segala. Setelah 30 menit tibalah giliranku. Aku menyibak tirai tenda dan menemui dokter yang ternyata wanita, aku duduk. Ia sedang memilih-milih obat, hingga terlihat punggungnya saja, dibantu oleh beberapa orang juga berpakaian putih-putih. Aku sedikit janggung
            “silakan duduk...” ujarnya masih memunggungiku
“aku sudah duduk kok, buk” jawabku pelan
“oh, maaf yah” dia membalikan tubuhnya
            Tatapan kami bersatu. Waktu seakan berhenti. Detak jantungku sudah berpacu cepat, darahku mengalir deras seperti air terjuan menghempas bumi. Aku berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu
“Clara...” kakiku berhenti. ia menahanku dan memegang pergelangan tanganku.  Aku menghindari kejaran tatapanya...kulepaskan berlahan genggamanya, takut-takut jika tangan halus itu terkotori dengan debu-debu yang menempel di kulitku
“aku bukan Clara” elakku. Dia kembali meraih pergelangan tanganku lalu menuntunku kembali dikursi pasien
“oke... duduklah” sepertinya kali ini dia menghindari perdebatan. Walaupun ingin sekali aku berlari menjauh, namun seperti tersihir aku kembali duduk, gelisah pasang surut menghantam hati. Aku kaku seperti patung kayu yang jadi pajangan. Dia tidak pernah berubah masih harum dan cantik seperti dulu... Statescop bertengger diantara lehernya, lalu ia mulai menyentuh lengaku dan menyingsingkan lengan panjangku  penuh debu ia memasang tensimeter kelanganku memeriksa tensi darah. Aku berusaha menghindari tatapan di balik kacamata minusnya. Setelah itu ia memberikan beberapa obat
“setaminamu bagus. Semuanya normal. Cukup mimun vitamin ini saja...”suaranya sedikit bergetar
“Terimakasih...” aku menarik kakiku dan meninggalkan tenda itu. Tiba-tiba minat kerjaku menghilang, kugenggam erat-erat kantong berwarna putih penih dengan obat-obat. Kususuri pagi kembali kegubuk tuaku. Perjumpaan yang kusesali... aku malu dia melihatku begini
*          *          *
Karena rasa ego lebih menguasi hati dan pikiran. Sebuah persahabatan harus ditukar dengan cinta yang tiba-tiba menjelma menjadi kegilaan  menguasai jiwa. Kecemburuanku pada Sonia telah membakar semua hidupku tidak tersisa seperti kertas dilahap oleh api hanya meninggalkan abu-abu hitam. 
“kenapa sih Clara? ada apa? kenapa kamu tidak pernah lagi mau berbicara padaku? apa masalahnya”
“hidup kamu sudah lengkap kan dengan adanya Rudi? yasudah. Kamu tidak memerlukan aku lagi?” kataku datar. Kuhembuskan asap rokok keudara. Mengacuhkan keberadaannya
“ya ampun. Kamu itu sahabat sekaligus saudaraku. Rudi itu kekasihku” ada sesuatu  mendesir tajam diantara bilik hatiku saat mendengar kata-kata itu keluar dari bibirnya, cemburu. Kubuang rokok yang belum habis kuhisab. Mungkin rasa ini tidak pantas untukku mengingat aku adalah anak angkat dari orang tua Sonia. Diadopsi dari panti asuhan dan di besarkan bersamaa Sonia. Dari pertama melihatnya aku sudah tertarik padanya di usiaku dua belas tahun... besar dikeluarga ini, dianggap seperti anak sendiri membuat hidupku lengkap. Setelah beranjak dewasa mama dan papa menguliahkan kami di Universitas yang sama Sonia dikuliahkan di Fakultas Kedokteran dan aku memilih dikuliahkan Jurusan Sastra
“masalahnya...masalahanya....”
“apa?” susul Sonia. Aku mendekatinya. Mata itu menatapku bingung. Desah nafasnya berhembus dimukaku, semakin membuat rasa itu tidak mampu kubendung. Degup jantungku  tidak tertahan ibarat genderang perang bertaluh-taluh nyaring siap memberikan tanda jika peperangan siap dimulai
“aku mencintaimu” dan aku mengucapkanya lantang
“ya. Wajar kau mencintaiku karena aku ini saudaramu”
“bukan itu, aku mencintaimu lebih dari saudara atau sahabat” aku berteriak. Mendengar pengakuan itu wajah Sonia seperti kapas... ia menatapku tidak berkedip dan ia melangkah pergi tidak meninggalkan sepatah katapun
Setelah pengakuan itu sikap Sonia sedikit berubah. Perhatian Sonia  tidak lagi tertuju padaku, membuatku terbakar api cemburu. Sebuah kegilaan kulakukan karena amarah dan sakit hati. Aku memasuki kamar Sonia. Dia baru selsai mandi, ia menutupi tubuhnya kembali dengan handuk. Aku mendekatinya dan memaksa menciumnya. Tubuhnya tersudut menempel didinding tidak kuasa menghindar
Paaar! sebuah tamparan melayang kencang kepipiku. Melihat reaksi penolakan dari Sonia kupegang kedua lenganya, kutekan kedua lututnya dengan lututku. Ia seperti rusa yang tak lagi berdaya diterkam oleh harimau dengan kuku-kuku tajamnya. Lalu ia menangis histeris. Pasrah. Tenaganya tidak cukup melawan kegilaanku. Namun, melihat air mata meleleh dari kelopak matanya aku terhenyuk, kulepaskan seketika tubuhnya dari cengkramanku... kesadaranku kembali
“maaf” kucium keningnya.
Detik itu juga aku meninggalkan rumah. Tubuhku terasa tidak memijak bumi lagi, terus melangkah mengikuti jalan yang entah menuju kemana dengan air mata terus mengucur, mengikuti setiap mobil dan bis yang siap ditumpangi. Setan apa yang merasuki jiwaku hingga aku tega melakukan itu padanya? Hingga aku tiba di kota ini. Rasa bersalah yang terus menjadi bayangan diri
Mengenang kejadian itu membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, bertahun tahun aku dikejar rasa bersalah betahun-tahun aku tidak punya keberanian untuk meminta maaf pada papa dan mama, aku merasa telah  mendurhakai mereka. Mungkin Sonia telah mengadukan semua tidakanku. Aku sudah cukup tau diri kesalahanku tidak akan dimaafkan... aku benar-benar orang yang tidak tau balas budi
“nduk...” suara mang Nadang dari luar membuyarkan semua lamunanku. Aku melangkah membukakan pintu
“iyah Mang?”
“ini loh nduk, ada yang mau ketemu” mataku terbelalak
“mari bu Dokter” mang Dadang meninggalkan kami berdua. Sonia menatapku, aku menunduk. ia melangkah menuju gubuk tuaku tanpa dipersilakan masuk terlebih dahulu. Matanya beredar mengamati semua ruangan, aku masih membeku didepan pintu, rasanya aku ingin sekali menggali tanah dan masuk ke dalamnya
“dua tahun meninggalkan keluarga dan kuliah… hanya utuk bersembunyi disini” katanya dingin, ia memegang gelas plastik  berada di meja makan yang telah reot, ia menuangkan air putih kemudian duduk di kursi bambu dekat jendela…
“aku tidak bersembunyi…’suaraku hampir tidak terdengar
“lalu apa? menghindari rasa bersalah?” katanya lagi sambil meminum air dari gelas ditanganya
“untuk apa kau kesini?”
“membawamu pulang...”
“pergilah....”
“aku akan menumpang disini, selama dua hari masa tugasku... aku kecapean” ia membuka jas kebesaranya dan menggatungnya didekat jendela
“tempat ini tidak layak untukmu. Pergilah. Kau salah orang?”
“ohya?” Sonia  mendekatiku. Tanganya meraih ganggang pintu lalu menutupnya
“pergilah....” aku kembali mengusirnya dengan nada suara datarku. Sonia saakan tidak perduli dengan kata-kataku, ia malah mendekatkan pipinya. Jantungku bergetar bersama kerinduan  hampir tidak bisa kubendung
“walaupun kau telah berbaur bersama lupur bau mu tidak berubah. Bau permen...”
“ah, sudahlah...” aku menghindarinya mundur beberapa langkah
“apa kau tidak mau memeluk atau menciumku?”
“tidak. Terimakasih...” aku meraih topiku dan meletakanya dikepalaku. Sonia melepas topiku
“baiklah... aku akan pergi, tapi bersamamu. Lagian seharusnya marah itu aku bukan kau”
“aku tidak akan pergi bersamamu. Ini tempatku...”
“tidak pernah berubah tetap keras kepala dan egois. Apa kau benar-benar tidak mau pulang bersamaku?” Sonia meraih tubuhku dan memelukku. Bukankah dia sudah sedekat ini? apa dia tidak membenciku? bau  kurindukan. Tanganku menyaut pelukanya dan mendekap punggungnya. Soniaku. Tangis kami pecah diruangan tak kedap suara itu
“maafkan aku” Akhirnya kengakuhan dan kesombonganku mencair bak lilin tersambar api. Hatiku serasa bebas dari beban berton-ton yang mengikutiku bertahun-tahun karena rasa bersalah itu. Sonia mebiarkan aku menangis lebih lama di pelukanya
 “jika kau ingin dimaafkan olehku pulanglah kerumah bersamaku. Kau harus menemui mama dan papa...”
“mama... papa?apa kau?”
“kau gila. Aku tidak pernah bercerita apapun. Setelah kau pergi dari rumah mama sakit-sakitan. Mereka mengira kepergianmu adalah salah sikap mereka... Mereka minta tolong agar mencarimu dan membawamu pulang” air mataku meleh...
 “jika kau ingin berbakti pada mereka. Pulanglah bersamaku. Selsaikan tugasmu sebagai seorang anak... kau masih mempunyai aku” Sonia meyakinkanku…
“kau tidak membenciku?”
“tidak... aku sangat kehilanganmu. Kumohon kembalilah kerumah” aku mengangguk.
* * * *
“kau akan pergi bersama dokter itu?”
“iya Baron…”
“kenapa?”
“karena dia hidupku…” Baron kembali memetik gitarnya kemudian berhenti saat menyadari kedatangan Sonia diantara kami...
“Sonia...” Sonia mengulurkan tanganya, Baron mengelap telapak tangan dengan ujung bajunya lalu menyambut tangan Sonia
“Baron...”
“terimakasih karena kau sudah menjaga Clara selama ini...”
“sama-sama... kami pasti akan kehilangan Clara”
“kalian tidak akan kehilangan dia seutuhnya. Aku akan memberikan izin dia kesini”
Baron kembali memetik gitarnya lalu suara-suara melo keluar indah dari bibirnya, nyanyian perpisahan yang dia persembahkan untuku. Kami bertiga duduk didepan gubuk tuaku yang sudah dua tahun mejadi tempat penampunganku selaman ini… kucoba memaknai semua lantunan syair-syair Baron. Persahabatan dari jalan-jalan dan kemiskinan telah membuat dia begitu peduli padaku, hanya dia yang memperlakukan aku sebagai wanita sesungguhnya… diam-diam kupandangi ujung matanya yang berair. Hidup inilah adalah pilihan Baron, saat pilihan  tepat didepanku aku tidak akan mungkin menyia-nyiakanya
* * * *

Aku berkeliling disetiap sudut rumah... meluapkan kerinduanku. Mengenang masa kecilku disini. Ah... disetiap tempat mengingatkan aku saat pertama kali Sonia mencairkan kekakuanku  hadir diantara keluarga ini. Ia memberikanku boneka berwarna pink lalu aku menolaknya muka sedih terpancar dari wajah putih bersihnya, kukatakan padanya aku tidak terbiasa main boneka-bonekaan seperti sering ia mainkan, tetapi aku lebih suka bermain  mobil-mobilan atau pistol-pistolan. Keesokan harinya ia meminta papa dan mama membelikan mobil-mobilan dan pistol-pestolan mereka mengabulkanya.
Kami berdua tidak membutuhkan teman lain karena merasa cukup satu sama lain, dimasukan disekolahan dan kelas yang sama. Walaupun aku adalah anak adopsi tapi mama dan papa tidak pernah membedakan aku dan Sonia, itulah sebabnya setelah kulia Sonia mulai dekat dengan Rudi dan mempunyai perasaan lebih pada laki-laki itu, aku merasa kehilangan…
“ngelamun lagi?” Sonia menepuk bahuku.  Menerbangkan semua cerita masa lalu itu
“aku kangen papa… mama. Rumah sepi. Mana mereka?”
“kita akan menemui mereka” Sonia menatp sendu kearahku. Ia menarik tanganku dan menaiki mobilnya
“emang mama dan papa di mana?”
“kita akan menemui mereka” hanya itu jawaban Sonia. Dia banyak diam didalam mobil. setelah beberapa saat Sonia menghentikan mobil disebuah pemakaman... kupastikan dugaanku tidak benar kutatap tajam wajah Sonia yang telah beruraian air mata. Ia menganggukan kepalanya membenarkan dugaanku…
Kupeluk gundukan tanah  telah ditumbuhi rumput
“maafkan aku…” aku mulai meratap. Sonia mengelus-elus rambutku membiarkan aku menumpahkan semua dukaku pada dua gunduka tanah makam papa dan mama.
21.33.00   Posted by Unknown in , , with 4 comments

4 komentar:

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search