Translate

  • Pengantinku

    Kamar pengantin ditutup rapat. Ada dua perempuan di dalamnya, aku memakai baju gamis biru dan dia mengenakan baju pengantin ala Jawa. Kupeluk, ia tertegun sesaat, lalu melepaskan jari-jemariku. Ia menunduk mebiarkan aku mengecup keningnya..
    mempelai laki-laki menantinya di pintu, melemparkan senyum lebar. Aku mulai melapas gandengan tangan kami, kuserahkan tangan kekasihku. - jejakcintapelangi.blogspot.com...

  • Mantan, sahabatku

    Aku sms seorang wanita telah bersuami, pacar pertamaku... dia masih ramah seperti dulu, cara kami berkomunikasi tidak menempatkan diri sebagai mantan kekasih, jika itu terjadi kurasa pertengkaran akan melingkari silaturahmi ini.
    Hanya tentang cara dua wanita sedang berkomunikasi saja, membicarakan hal-hal berbau kewanitaan - http://jejakcintapelangi.blogspot.com/...

  • Vagina dan ikatan cinta

    Ketika langkah-langkah kecilku... mulai menyadari jika Vaginaku hanya hiasan belaka... kurasa? tak ada nikmat disana, kecuali aku menyaksikan Vagina lain... Cairan keluar dari Vagina menciptakan petir-petir halus dihati, kemudian... bersatu dalam cairan memabukan.... nafsu atau cinta? kurasa keduanya... ketika aku lebih menikmati Vagina dari pada Penis... .
    Kurasa Vagina, hal paling indah dimiliki wanita.... si busuk yang di butuhkan!!! keindahan payudara bagi wanita tetap kalah dengan Vagina...

Jumat

22.29.00   Posted by Unknown in with No comments
Read More

Minggu

Pagi-pagi buta telah membuka mata dan melebur bersama pagi, sesuatu  dulu jarang sekali dilakukan. Sekarang harus terbiasa... berlomba bersama kabut-kabut pagi, angin menerobos garang lewat celah-celah pakaian kukenakan, menggigil sekali.... nafas masih berasap.... motor meteck  telah jadi teman terbaikku sekang. Aku merasa jarang sekali kakiku menginjak bumi....

Jika kita punya mimpi, sebesar apapun penghalang tetap saja akan terlihat kecil.... mimpi adalah tujuan indah harus diperjuangkan, mungkin saja mimpi akan sering melebur bersama malam namun esok paginya dia akan menjadi kekuatan indah....

sang kekasih mulai protes sebab waktuku sudah hampir tersedot habis oleh kerja... berbuih rasanya mulut memberi pengertian.... bukan semudah membalikan telapak tangan untuk mengejar sesuatu yang diimpikan, siang malam dia menunggu walaupun tangis kadang terangkai...

kegagalan adalah guru besarku, itu sebabnya aku merasa kkali ini adalah benar-benar kesempatan terakhir, aku harus mampu mencapainya.... selama ini aku telah membuang waktu begitu banyak...

dulunya, aku ingin berhenti sementara waktu menjalin hubungan demi mengejar mimpi yang tertangguhkan... lagi-lagi cinta datang dari tempat yang tidak terduga....

tapi, suatu kesalahan jika sekarang ini aku mengenyampingkan impianku demi seseorang...  aku mencoba mensejajarkanya, walaupun akhirnya tetap saja mimpi yang kupreoritaskan...

memahami bahwa hidup ini adalah seripahan-serpihan mimpi yang bertebaran dibumi bukanlah sesuatu yang mudah.... kita butuh usaha untuk menyatukannya menjadi sebuah mimpi indah  dan utuh....
04.08.00   Posted by Unknown in with 1 comment
Read More
Mata Ken dilingkupi kaca-kaca halus berbentuk air. Bumi  diguyur butiran hujan, seperti anak panah dimedan perang menghunus musuh berterbangan dari langit. Kedua telapak tangannya terulur menyentuh hujan, digenggam lalu sirna meninggalkan jejak basah dikulit. Mata terpejam dan air bening jatuh membentuk anak sungai menghiasi kulit pipi Ken. Daun-daun pohon rambutan didepan kamar bergoyang ramai mengikuti irama hujan. Jendela kamar Ken dibuka  lebar, seakan mengizinkan sang hujan memeluk jiwa hampanya.
Rasa sakit menerobos lewat dinding hati, ia menangis bersama hujan, menyapa sesuatu seharusnya disapa, memeluk sesuatu  seharusnya dipeluk. Terpejam dan tanganya masih terulur diluar jendela ditimpah oleh hujan yang jatuh makin deras. Sentuhan halus dirasakan Ken, berlahan tanganya digenggam diantara jari-jarinya seolah-olah ingin menggapai tangan seseorang, namun hujan menenggelamkan bayangan yang diinginkan Ken.
Dibalik pintu kamar. Seorang wanita berdiri seperti patung pajangan. Tanganya mengenggam erat-erat tiang pintu, air matanya bercucuran, kepalanya bersender diantara tembok. Lelah terpahat diantara kantung mata. Ia telah berdiri disana ketika  hujan turun tadi, semua gerak-gerik Ken tidak luput dari tatapan matanya, setiap kali hujan turun nyawa sang mama seakan melayang, ia harus menyaksikan Ken begitu lemah tanpa daya. Ini adalah tahun kedua, selama itu juga Ken seonggok raga tanpa jiwa.
Sebagai seorang mama ia sungguh tidak berdaya menolong anaknya. Penyesalan atas kesalahan masa lalu kini sungguh tidak berguna. Ketidak perdulian dia sebagai wanita yang melahirkan Ken hingga hidup anaknya berakhir dikursi roda. sebagai seorang mama dia terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai kepala Yayasan, dia terlalu percaya  lembaran-lembaran uang   berlimpah akan memberikan kebahagiaan untuk Ken…
Dua tahun sudah dia mencari sebuah alasan mengapa tiba-tiba anaknya mengalami kecelakaan tragis hingga mengalami kelumpuhan dan menutup diri pada siapapun. Perubahan drastis terjadi, anaknya mulai bertingkah aneh, terkadang senyum lalu tiba-tiba beruraian air mata
“ma...” lamunan sang mama buyar
“Sin. Sejak kapan kamu di sini?”  ia menghapus air matanya tatkala menyadari kedatangan anak sulungnya
“baru saja. Ken masih bermain dengan teman imajenirnya lagi ma?” mamanya mengangguk. Sinta melangkah mendekati Ken, dielusnya kepala adiknya. Mama  menggenggam erat tangan Ken
“sayang, hujannya sudah berhenti kan? Sekarang Ken tidur ya nak… ” Ken membuka mata sayunya, sang mama menghapus sisa-sisa air mata dikelopak mata anak bungsunya. Sinta mendorong kursi roda Ken berbelok kearah tempat tidur. Hujan telah usai berdendang  meninggalkan jejak-jejak lembab di bumi bersamaan dengan perubahan wajah Ken kembali tanpa ekspresi, tatapanya kosong. Sang mama dan Sinta memapah tubuh kurus Ken keranjang. Sinta membaringkan dan menyelimuti tubuh Ken, beberapa menit kemudian matan Ken terpejam. Sinta menarik tangan mamanya meninggalkan Ken dalam tidurnya…
“kamu sudah mendapatkan orang bernama Elsy itu?”
“aku sudah bertanya dengan puluhan teman Ken. Dia tidak mempunya teman bernama Elsy bu, aku sudah menyelidiki semua orang yang pernah dekat dengan Ken. Mereka sama sekali tidak tau tentang penyebab kecelakaan itu” mendengar jawaban Sinta Wanita yang mulai menua itu menghela nafas panjang. Bik Inem pembantu rumah tangga mereka datang dengan  membawa dua gelas teh hangat. Sinta mengenggam tangan ibunya
“Ken akan sembuh kan Sin?” tubuh mamanya bergocang hebat, tangis meledak. Mereka menangis berdua…
Kenangan Sinta melayang ditahun-tahun kebahagiaan bersama Ken
            *          *          *
“Ken! Bangun!” Sinta menyibakkan selimut lalu berteriak tertahan ditelinga Ken
“Huah, kakak ini apaan? aku masih ngantuk” Ken menutup kedua telinganya menggunakan  bantal
“bener? tidak mau bangun?” Sinta menggelitik pingang adiknya. Ken tertawa terbahak-bahak menahan geli
“ampun kakak. Iya. Iya bangun” Ken duduk menghadap kakaknya, ia menggarut-garut rambutnya yang ajak-ajakan…
“mandi. Berpakaian rapi oke” Perintah Sinta halus sambil merapikan rambut adiknya dengan jari-jarinya
“eits! tunggu dulu” Ken memeluk tangan Sinta seraya menyodorkan muka kearah kakak satu-satunya itu. Sinta tersenyum lalu mencium hidung adiknya. Ken bergegas membersihkan tubuhnya. Seperti biasa ia mengenakan jens kesayanga  yang telah ia robek di bagian lutut. Ia mengenakan kaos oblong dan dilapis  kemeja kotak-kotak. Ken meluncur keruang makan keluarga. Sinta sudah menunggu…
“ampun. Ken, pakaianmu yang rapi toh dek. Aduh,  jangan begitu” protes Sinta  melihat dandanan adik semata wayangnya
“Ah, kakak ini adalah hari terapiku” Ken mencium pipi Sinta
“tapi?”
“ets! tidak boleh protes.  Ken bubuk lagi nih” ancam Ken sok serius
“iya, iya. Huh! dasar tomboy. Kapan ya? kakak bisa lihat kamu mengenakan pakaian yang sedikit feminim?”
“terus saja. Hayalan tingkat tinggi”ujar Ken sembari mengunyah roti tawar dan menyeduh susu hangat sekali teguk…
Setelah sarapan pagi itu Ken dan Sinta meluncur dengan mobil diantara jalanan kota. Sesekali diliriknya Ken yang lebih banyak diam akhir-akhir ini. Sinta mengemudia pelan lalu berhenti disebuah taman kota. Ken turun, ia memandangi kakaknya. Ken tidak mungkin lupa dengan tempat ini. Setiap hari penting almarhum papanya selalu mengajak keluarganya  ketempat ini. Sinta menggandeng tangan adiknya mereka berdua duduk dibawa pohon kayu jati. Sinta melepas kacamatanya. Dipandanginya mata adiknya
“kakak mengerti pasti kamu ingin mama datang juga kan? tapi dia tidak bisa Ken bilau  sibuk diluar kota, mungkin lusa dia datang. Tadi mama telpon kakak, mama titip salam untuk kamu dan dia ingin mengucapkan ulang tahun secara langsung... tapi...”
“sibuk kan?” suara Ken mendatar
“mama menyayangi kamu”
“aku tau” nada suara Ken parau seketika seola-olah menahan gejolak hati
“selamat ulang tahun ya dek” Sinta megalihkan topi pembicaraan sensitif itu
“ya” Ken memeluk kakaknya erat. Sinta merasakan ada sesuatu yang berbeda pada adiknya, hati Ken bergemuruh, Sinta merasa jika hati adiknya bergelombang garang
Sinta tidak menyangka jika pembicaraan itu adalah hari terakhir dia mendengar suara Ken. Malamnya, Ken pamit keluar. Lima jam kemudia ia mendapat kabar dari Rumah Sakit , sebuah truk menabrak motor Ken, menurut pihak rumah sakit Ken dibawa pengaruh alkohol. Sinta tau betul, walaupun Ken mempunyai jiwa bebas dia sangat anti dengan minuman-minuman berbau alkohol, entah apa yang membuat adiknya sebegitu gamang, higga hidupnya menjadi serpihan-serpihan robekan kertas
Setelah kecelakaan itu Ken tidak pernah berbicara selain menulis di dinding kamarnya. Sebuah nama Elsy.  Semua upaya telah dilakukan keluarga untuk menolong Ken. Tapi sia-sia. Tubuh Ken seolah-olah kosong . Namun, setiap kali turun hujan tubuhnya beriaksi penuh emosional
Sinta telah bertanya pada semua orang yang mengenal Ken. Tapi, tidak satu orangpun dari mereka tau Ken pergi dengan siapa malam itu…
*          *          *
Sinta duduk di samping tubuh Ken.  Dielus-elusnya rambut adiknya. Mata Ken masih terpejam. Udara pagi menyeruak segar, memenuhi setiap ruang. Dinding kamar Ken hanya berhiaskan  tulisan nama ELSY
“siapa dia Ken? apakah kau akan menyimpan rahasia hidupmu selamanya, menguburnya bersama kebisuanmu sekarang? Seharusnya ceritakan pada kaka,  kau tidak pernah sendiri sayang. Ada kakak. Kau ingat? saat kecil dulu kau sok jagoan ingin melindungi kakak. Tidak membiarkan kakak jauh-jauh darimu. Kau bandel. Tapi, kakak menyayangimu Ken. Sudah berjanjikan? menjaga mama dan kakak, kakak percaya itu, kau akan menjadi pelindung bagi keluarga kita. Kau kecewa pada mama? kakak mengerti dia tidak sempat memberikanmu kasih sayang karena setelah papa meninggal dia  sibuk mengurus semua pekerjaanya, itu demi kita Ken. Kau lihat sekarang mama makin tua, dia ingin kau memberikan kesempatan padanya untuk menumpahkan semua kasih sayangnya Ken. Dia menunggumu bangun. Kasihan mama Ken...” Kepala Sinta tertunduk mencium tangan adiknya...
Sinta berdiri, menutup terai kamar Ken seperti biasa. Senja hampir sirna, digantikan malam mulai menebar gelap. Sinta kembali mengamati setiap huruf ditulis Ken, dirabanya dinding kamar Ken, tiba-tiba kulit jarinya menyentuh sesuatu, ruang di  dinding. Sinta mengamati dengan cermat. Dinding itu membentuk sebuah balok seukuran buku. Ia bergegas mengambil obeng besar dan palu. Dimembongkarnya cepat. Ternyata…
Oh My God” didalam dinding itu ada sebuah ruang kecil. Sinta menemukan tiga buku kecil. Semacam buku agenda bertuliskan semua orang bersama Elsy “Ken, begitu rapi kau menyimpan ini?” Sinta duduk di lantai. Dibukanya lembar demi lembar catatan itu
30 September 2000
Mama satu minggu tidak pulang. Padahal ingin sekali bercerita betapa hebatnya aku dikampus bermain teater Universitas. Semua anak baru menginginkan masuk keteater tersebut, hanya aku yang terpilih untuk manggung bersama seneior. Dan opsisiku untuk masuk ke Senat semakin mulus. Meneruskan profesi papa sebagai seorang politisi. Aku kangen papa, apa bisa ya seperti dia?
Ketika pementasan selsai. Seluruh mahasiswa ditaman Budaya bersorak meriah. Diantara keramaian itu. Seseorang menghampiri memberikan selamat padaku. Wajahnya putih bersih kemerah-merahan seperi bunga sakura. Dia mengajungkan jempol memuji  aktingku. Melihat dia aku teringat kakak, jika kakak melihatku saat ini, dia akan memelukku berjam-jam, karena bangga. Mungkin aku akan pingsan karena tidak bernafas dipeluk olehnya…
18 Oktober 2000
Aku berada didalam kelas mengikuti matakuliah Pengantar.  Lewat kaca jendela mataku menangkap sosok anggunya. Dia berjalan bersama rombongan, mengenakan seragam putih menuju Lab. Aku baru tau jika dia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran, ia tertawa riang bersama teman-temanya. Keceriaanya telah menyihirku. Aku enggan berpaling dari sosok itu, hingga ia menghilang di gedung lab. Karena menatapnya lama, aku melewatkan beberapa penjelasan dari  dosen matakuliah Ilmiah Dasar, dosen buncit itu mengajukan padaku beberapa pertanyaan. Katanya sih dia tidak suka dikelasnya ada mahaswa tidak fokos pada saat ia menerangkan materi. Aku sempat tertawa dalam hati, bagaimana kami bisa fokos jika materi yang dia beri adalah cerita masa mudahnya. Apa dia tidak sadar jika hampir dari seisi kelas sering bolak-balik kekamar mandi mencuci muka karna melawan kantuk. Termasuk aku terkadang memilih berada dikantin ketimbang masuk mata kulianya. Aku lebih suka nongkrong dengan para mahasiswa seneIor setidaknya otakku akan sedikit berjalan karena digunakan berdiksusi banyak  hal. Jika kakak tau aku sering bolos kuliah, telingaku akan merah karena dijewer olehnya. Ah, kakak sayang, percayalah pada adikmu aku akan menyelsaikan pendidikanku  lulusan terbaik dan tercepat sebagai Sarjana Politik.
 29 Oktober 2000
Aku mengikuti Seminar Nasional  diadakan oleh kampus. Aku duduk paling depan. Aku kembali melihatnya. Ia bertugas sebagai moderator. Ucapanya lugas, terarah dan pintar  terlihat saat ia menyimpulkan hasil dari seminar tersebut. Aku tidak menyangka ia akan menyapaku stelah acara itu selsai. Hari ini aku tidak membawa motor. Terpaksa harus menunggu bis di halte depan kampus. Sebuah mobil berhenti di depanku. Saat kaca jendela dibuka, ternyata dia. Ia mengajakku naik mobilnya, Jujur aku malu walaupun mau. Aku salah tingkah. Dan pertama dalam hidupku aku sama sekali tidak percaya diri dengan pakaian ala peremanku, berbeda denganya sangat modes dan farfunya harus sekali. Dia sangat ramah, selalu punya bahan cerita untuk diobrolkan. Dia ingin mengantarkanku kerumah, tapi aku minta diturunkan disimpang tiga. Senyumnya, membuat sesuatu dihatiku menggelitik bahagia
10 November 2000
Aku keperpustakaan untuk mencari refrensi mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, merasa  bodoh soal teori, aku mulai memprioretaskan untuk mengetahui teori-teori sosial, dengan banyak-banyak membaca otaku akan terhindar dari kesesatan kerimba kebodohan. Tidak cukup betanya tentang teori pada dosen, karena jawabanyapun tidak akan mampu memuaskanku, aku lebih suka berstetmen lalu bertanya, agar wacana perkuliahan bisa meluas.
Saat sedang asik-asik membaca puluhan teori. Tiba-tiba ia duduk disampingku. Menyapa dan berdiskusi tentang teori-teori politik yang sedang kubaca.  Seneior  baik pikirku. Lalu ia menuliskan beberapa judul  buku pengarang serta penerbitnya. Menurutnya buku-buku itu layak untuk dibaca. Walaupun, bidang ilmu kami jauh berbeda, ternyata dia sangat menguasi Ilmu Politik. Pantas saja jika dia menjabat Kepala Bidang Keilmuan di Senat. Ia mengajaku ke tokoh buku bersama. Kelanjutanya adalah ia mengajakku kerumahnya, aku sempat bertanya dimana anggota keluarganya. lalu dengan ringan ia bercerita bahwa papanya sudah meninggal. Dia anak tunggal, ibunya seorang dokter gigi tinggal di kota yang berbeda. Aku masih beruntung, punya kakak begitu mencintaiku walaupun kasih sayang mama jarang aku dapatkan
20 november 2001
Dia tertawa terbahak-bahak, saat aku mendongeng menurutnya sangat lucu. Dia bilang aku hanya pandai merangkai kata dikertas tidak bisa merangkai kata lewat lisan. Karena  ingin melihat kemapuanku mendongeng ia memaksaku, kulakukan sekuat tenaga, karena harus berfikir bagaiman selanjutnya ceritanya lidahku sering terpatah-patah. Dan aku menyerah, benar-benar kalah denganya soal mendongeng... ia mampu membuatku tertidur pulas dengan lantunan dongeng yang berterbangan indah dari bibir tipisnya... SEPASANG KUPU-KUPU DAN KUNANG-KUNANG dongeng yang sukses membuatku melayang-layang . Saat aku bangun. Tanganya masih merangkul pinggangku. Diam-diam kukecup keningnya ia mengeliat manja tidak menolak
11 desember 2001
Drama Korea itu mampu menyihir kami berdua. Tidak pernah melewatkan satu epesodepun. Karakter dalam film itu sama dengan karakter kami berdua. Terkadang saat Drama Asia itu diputar kami sering berteriak-teriak karena alur ceritanya tidak seperti kami kehendaki. Aku menyukai Drama Korea itu karena dia menampilkan bunga sakura sebagai lambang cinta mereka.

30 Februari 2002
Aku menggengam tanganya. Aku lebih memilih bersamanya malam ini. Dia hanya sosok kesepian saja yang sangat membenci mamanya. Kukatakan padanya, mama kupun tidak punya banyak waktu untukku tapi aku tidak membenci mama, aku mencintai mama. Tapi, semua kataku ditepis... mamanya adalah penyebab kematian papanya. Dia lelah... berpura-pura sempurna dimata orang lain, hanya karena keelokan paras dan dia punya segalanya. Dia merasa orang mendekatinya karena kelebihan  yang ada pada dirinya. Aku mencoba mengerti
Dan entah mengapa dia menciumku. Ciuman pertamaku. mungkin pada saat itu kami sama-sama emosional... hingga aku merasakan dia benar-benar lembut seperti bunga sakura
03 Maret 2001
Tadi sore aku mengajaknya kepasar tradesional, bau menyengat hidung . Kulihat air matanya keluar Karena menahan bau dan becek. Aku kasian padanya… tapi dia trus mengikutiku melakukan wawancara menyelsaikan tugas mata kuliahku. Dan saat pulang dia  demam. Aku cemas. Menurut penbantunya mungkin itu seumur hidup dia kepasar tradisional, semalam suntuk aku menjaganya.  Ia mengigau menyebut nama papanya, tubuhnya menggigil. Kupeluk erat… aku merasa bersalah. Besok paginya badanya kembali membaik, kugenggam tanganya dan meminta maaf. Melihat muka cerahnya lega setengah mati
09 April 2001
Ia bersender dibahaku. Berbicara serius tentang rasa. Katanya, jika suatu saat kami terpisah oleh takdir maka cahaya hijaunya sebagai kunang-kunang akan menuntunku. Dan hujan turun, ia menarik tanganku kehalamanya. Ia memutar-mutar tubuhnya seakan sedang menari dengan seseorang... lalu ia menggengam tanganku. ciuman itu selembut buliran hujan. Aku melepaskan ciuman dan menatap wajahnya yang basah kuyup. Dia secantik hujan, aurahnya menyihir jiwaku. Kebahagiaan yang ingin kusatukan selamanya
Aku bimbang. Apakah hubungan cinta kami akan menjadi rahasia selamanya. Bayangan kakak dan mama membuatku bersalah, seakan belati yang tersimpan dibilik hatiku suatu ketika akan memotong bagian cintaku padanya…
05 Mei 2001
Kebersamaan kami semakin intim. Tapi, aku tidak pernah mengenalkan keluargaku padanya. bahkan dia tidak mengetahui rumahku. Kukatakan jika suatu saat aku membawanya kerumah ketika aku siap mengenalkan dia sebagai anggota keluargaku, aku ingin kakak dan mama menerima dia sebagai kekasihku. Walaupun memaklumi, tapi ada gurat kecewa diparas cantiknya. Sungguh aku belum siap untuk jujur. Suatu saat ketika waktunya tiba, aku tidak perlu menyembunyikan hubungan asmara kami dengan berkedok persahabatan, seperti kami lakukan pada mamanya.
Sore. Cahaya mentari berubah warna jadi kelam terbalut mendung. Kuajak dia ketaman. Hujan turun. Berkejaran bersama buliran hujan adalah kesenanganku dan dia. Pulang aku dan dia terkena flu
Kakak  mulai bertanya mengapa jarang tidur di rumah. Aku beralasan sibuk mengiuti organisasi kampus, nampaknya kakak percaya. Didepannya berusaha menyembunyikan kegelisahanku. Aku sangat takut jika kakak mengetahunya. Aku menyayangi kakak, tidak sanggup dibenci olehnya
11 Desember 2001
Perahara datang. Mamanya melihat adegan itu, betapa mesranya aku mencium anak perempuanya. Wanita seumuran mama itu menarik tubuh anaknya masuk kamar lalu memukulinya, aku memohon agar dia tidak melakukan itu. Diapun memukulku, sembari  mengancam akan melaporkan aku kepolisi jika aku tidak keluar dari hidup anak tunggalnya
18  Desember 2001
Setelah kejadian itu. Hidupku karam ia tidak terlihat dikampus lagi. Aku hanya mampu  melihat rumahnya dari jarak jauh. Terkunci rapat, padahal besok adalah ulang tahunku. Aku merindukan canda tawa kami. Bahkan kami belum menonton epesode trakhir Drama Korea itu. Dan aku belum memperlihatkan padanya aku sudah bisa mendongeng...
19 April 2001
Dia mengirim sebuah  sms isinya dia rindu dan ingin bertemu denganku, mamanya tidak dirumah. Betap bahagianya aku akan bertemu dengan pujaan hatiku. Walaupun, baru dua hari aku berpisah darinya, rindu dan gelisahku telah menggunung. Sesampainya aku dirumahnya. Kurasa itu adalah akhir dari hidupku, hatiku telah dibakar oleh penghianatanya. Dengan mata kepalaku sendiri melihat  ia sedang tidur dengan wanita lain, wanita itu sedang mencumbunya. Hatiku hancur, remuk. Kutinggalkan rumah itu. Dia tidak menyusulku, kagetpun tidak dengan kedatangku...
20 desember  2001
Kakak mengajaku ketaman
Kakak orang pertama mengucapkan ulangtahun padaku, kemudian mama walupun ucapan itu hanya titipan. Namun aku tetap ingin kekasihku mengucapkan meski, hanya beberapa kata. Semua nomor handphonenya tidak ada yang aktif. Walaupun dia telah menghianatiku, aku bahkan bersedia memaafkannya, dia hanya manusia biasa tidak akan luput dari salah
Rasanya tidak sanggup menetikan air mata didepan kakak. Aku mencoba bersikap biasa. Semua hidupku serasa telah dirampas, seperti daun-daun kering mahoni berjatuhan dibumi
Aku bertekad apapun terjadi malam ini aku akan menemuinya. Ingin memastikan mengapa penghianatan itu ia lakukan. Bukankah dia sudah bersumpah jika apapun terjadi akan tetap mencintai dan tidak akan meninggalkanku
*          *          *
Air mata Sinta bercucuran setelah membaca  lembar demi lembar buku harian adiknya...
“inilah rahasia hidupmu Ken. Mengapa kau sembunyikan ini? tentang orentsi seksualmu?” gemuruh menghantam hati Sinta “jangan takut Ken, apapun untumu” Sinta memeluk kepala Ken sambil menangis tersedu. Bik Ijah menghampiri Sinta
“cahayu?”
“bik, tolong beresihkan kamar. Jangan cerita tentang dinding itu pada mama. Tolong sampaikan pada mama, aku ada pekerjaan penting, mungkin lusa pulang. Jaga Ken bik, aku pergi dulu” Sinta bergegas pergi dengan mobilnya. Foto dan alamat itu. Elsy Sofian Mahasiswa Kedokteran. Apa yang terjadi malam itu? semua penjelasan bisa ia dapatkan jika ia bertemu Elsy. Ia mendapatkan Informasi jika Elsy sedang PTT di sebuah derah dikawasan Bandung
Pagi-pagi sekali Sinta meluncur ke sebuah Desa, tidak sulit ia menemukan daerah itu...
“maaf buk. Mau tanya disini ada doker mudah bernama Elsy?” tanya Sinta pada ibu-ibu yang memakai kain lusuh di kepalanya sebuah beronang  berisi kayu bakar
“oh, bu dokter. Dia di Puskesmas.  Rumahnya disana, didekat pohon jati”
“terimakasih buk” Sinta menuju Puskesmas kecil  terletak diujung Desa. Ia menyusuri lorong berlantaikan semen. Samar Sinta mendengar suara lembut, ia mengintip dari celah jendela, seorang wanita memekai jas putih sedang memeriksa anak kecil sambil mendongeng. Sinta menunggu. Setelah dokter itu selsai memberikan resep kepada orang tua. Sinta memasuki ruang kecil yang dipenuhi alat medis
“silakan mbak, masuk” sapa dokter itu ramah. Benar dia adalah wanita di foto itu. Mata Sinta menatap tajam kearah wajah sang dokter.
“Elsy?”
“iya”
“Ken…” muka dokter muda itu memucat pasi, saat nama itu disebut. Dan air matanya tidak terbendung lagi “dia adiku. Sebuah kecelakaan teragis menimpanya setelah kau melakukan penghianatan itu” Elsy menangis menjerit. Sinta terdiam
*          *          *
Malam itu. Ken menerobos rumah Elsy dia ingin bertemu. Terjadilah keributan dirumah Elsy
“Elsy. Katakan padanya! Cepat” mamanya menggengam tangan Elsy kuat. Wanita yang pernah tidur bersama Elsy ada disamping Elsy
“Ken. Tinggalkan aku. Aku sudah mencintai wanita lain dan mama merestui hubungan kami Ken. Lupakan aku. Komohon” Ken sempat menangkap jika ada air mata mengalir halus dimata Elsy. Dengan langkah gontai Ken meninggalkan rumah itu. Elsy mengharapkan jika Ken bisa kuat mendengar semuanya. Setelah keadaan terkendali ia akan menceritakan pada Ken. Dan ternyata ia tidak pernah bertemu Ken lagi. Selama 24 jam gerak-gerik Elsy dipantau oleh keluarga besarnya.
            Mamanya mengancam. Jika hubungan mereka diteruskan. Semua fasilitas Elsy akan ditarik dan biyaya pendidikan Elsy akan dihentikan. Dan mamanya  akan memasukan Ken kepenjara karena penipuan dan melaporkan Ken sebagai lesbian kepada keluarganya. Dan Ken akan D.O dikapus. Hidup Ken masih begitu panjang dan Ken masih mempunyai mimp-mimpi yang belum dicapainya fikir Elsy. Dia tidak sanggup jika hidup Ken hancur, ia bersedia mengikuti kata mamanya.
Elsy tidak menyangka jika mamanya melakukan hal keji dengan memasukan kan obat tidur diminuman Elsy, lalu mengirim sms kepada Ken atas nama Elsy. Mamanya membuat Elsy seolah-olah tidur dengan perempuan lain, wanita itu adalah sepupu Elsy sendiri, mereka bersekongkol agar memisahkan Ken dan Elsy
Setelah mengetahui semuanya hati Sinta merasa sakit.
*                      *                      *
“Selamat ulang tahun sayang” Sinta mencium kening adiknya.
“Ken harum banget ya hari ini” ujar mama. Ken duduk mematung di kursi roda
“ini adalah kado ulang tahun dari kakak Ken” Sinta dan mamanya membawa Ken ketaman
Sesampainya di taman…
“mama merestui jika itu kebahagianmu nak” mama berbisik ditelinga Ken
“lihatlah Ken...” kedua bola mata Ken mengedip, seorang berdiri anggun didepannya. Ia mendekat kearah Ken…
“sudah kubilang bahwa cahayaku akan menuntunmu Ken. Maafkan aku. Kukira kau akan mengerti tangisku malam itu. Kumohon maafkan aku” Elsy mencium telapak tangan Ken. Ia menumpahkan semua tangisnya di telapak tangan kurus Ken. Sinta menatap mamanya yang telah beruraian air mata. Berlahan... jari-jemari Ken menyentuh rambut Elsy, mengelusnya pelan. Elsy mendongak cepat menatap Ken. Wajah itu…
“El.. sy…” bibir Ken terbata-bata
“Ken…” mama Ken kaget. Setelah sekian tahun dia bisa mendengar suara Ken. Ia memeluk anaknya
“sayang...” Elsy berdiri dan menghadapkan mukanya kemata Ken
“Aku… me… maafkan mu…” kata Ken terputus-putus
            Elsy memeluk Ken erat. Sinta tersenyum. Lalu ia menggandeng tangan mamanya, berlalu meninggalkan Elsy dan Ken
            “itu lebih baik kan ma?” mamanya mengangguk
            "mama..." suara anak yang dia rindukan, ia membalikan tubuh dan memeluk tubuh Ken erat...
08.08.00   Posted by Unknown in , , , , with 8 comments
Read More
Bis kota yang membawaku melaju pelan diantara kemacetan kota Palembang. Hujan terus mengguyur bumi, lampu-lampu kota menerangi jalan persis seperti cahaya kunang-kunang. Klakson berbagai kendaraan saling bersahutan… suara-suara gemuruh menggema di dalam bis, aku duduk di kursi paling sudut… dibalik kaca bis yang terjebak kemacetan, mataku memandangi butiran hujan  jatuh di daun-daun kecil akasaia yang tumbuh di pinggir jalan… 

membawa kerinduan di hati…
kerinduan halus… 

aku tau pasti rasa rindu itu untuk siapa

Bis masih belum juga beranjak, hujan mulai mereda menyisahkan gerimis halus, kurapatkan jaget hitam agar menutupi seluruh tubuhku mulai mengigil kedinginan. Aku menyandarkan kepalaku di jok bis, melepas kelelahan fisik…
07.31.00   Posted by Unknown in with No comments
Read More
Kayu besar tergeletak dipinggir pantai, cukup menahan tubuh kami berdua duduk bersilang. Ia masih mengenakan baju tidur berwarna merah jambu, rambut lebatnya diikat, helai-helai anak rambutnya bergoyang lincah tertiup angin pantai. Ombak  berkejaran, ratusan manusia hilir mudik didepan kami berdua

“apakah kau bahagia bersamaku?” entah tiba-tiba saja petanyaan itu muncul dari bibirku yang mulai menghintam karena kebanyakan mnghisap nekotein. Ia menoleh kearahku, melemparkan senyum datar. Aku telah gagal membuat ia tersenyum lebar dan lepas.

“ya…” sebenarnya yang kumau lebih dari sekedar kata-kata iya. Kami berdiri menyusuri pantai… berjalan mengikuti irama gelombang

“eh lesbong” tiba-tiba saja segerombolan anak mudah duduk dipantai bersiul. Aku berhenti tepat dan melangkah kearah mereka

“apa!? ulang lagi!!! ulang lagi?” kataku dengan nada agak keras

“enggak… enggak…. enggak”  kata mereka sambil cegar-cengir. Dia menarik tanganku, seolah mengatakan sudahlah. Kami tinggalkan anak-anak itu. Yah, kami memang pasangan lesbian, sebenarnya ini bukan sekali, saat kami berjalan berdua sering kali bisik-bisik itu terdengar, siiapapun akan mengatakanya, dengan styleku tomboy.

“kamu tunggu disini yah, aku joging... jangan kemana-mana”

“enggak mau! enggak mau!”

“loh terus mau ikut ayo!”

“ogah. disini aja”

“yahsudah”

Akhirnya kami bersendir disebuah perahu nelayan. Sebenarnya, aku sungguh ingin banyak berucap. Tapi ahhh lidahku keluh, aku hidup dengan seorang wanita hampir kehilangan cintanya, tapi dia tetap bertahan… ia sudah menyampaikan hal itu pada sahabat baiku sendiri Azurah

“dia bilang, cinta mungkin ada, tapi tidak sebesar dulu lagi” kata itulah akhirnya berkeliaran di otakku. Dia bukan tipe yang terbuka soal perasaannya sendiri. Dalam diamku dan bisunnya, kami sama-sama memendam rasa berbeda, dua orang  dulu pernah jatuh cinta kemudia disatukan dengan kometmen, seiring waktu dan keadaan peasaan wanita itu berangsur menipis seperti pasir disapu ombak

Hatiku memasuki musim gugur, kelopak sakuraku yang indah dan berwarna hampir semuanya jatuh kebumi dalam waktu yang bersamaan. Tapi, apa aku pernah menyesal memiliki cinta sedemikian besar padanya? jawabanku adalah tidak, pun ketika aku harus melepaskannya, karena kisah itu hanya aku yang memiliki

Warna awan pantai sudah menandakan senja. Kami henak pulang ke kamar kecil kami, kamar yang bercerita lewat sela-sela kebisuan… 
Kami menyusuri jalan-jalan pantai beraroma Venus tanpa bergadeng dia berjalan mendahuluiku. Sebuah tekad sudah aku bulatkan dalam hati, cinta adalah kebahagiaan dan senyuman. dan aku tidak mendapatkannya lagi dari perempuan sangat aku cintai itu Akan kuputuskan semua ikatan telah membelenggu hatimu. Saat kau kubebaskan semoga kau akan memilih sesuai dengan hidupmu....
06.45.00   Posted by Unknown in with 2 comments
Read More

Sabtu

Matahari mulai terik semakin membuat kulitku bertambah coklat. Kukibas-kibaskan topi lusu kearah muka mengusir panas dari tubuh. Aku duduk di trotoar mengistirahatkan tubuh yang mulai terasa letih. Asap-asap kenalpot kendaraan mengepul dijalanan dan bunyinya mendengung berlomba bersama waktu
“belum makan loe?”
“entar aja deh...” jawabku. Baron duduk sejajar denganku di trotoar, usianya sebenarnya dua tahun dibawaku tapi karena muka sangarnya dia kelihatan lebih tua dari umurnya jalananlah membuat dia sekeras batu. Sebagai seorang pengamen suaranya tidak kalah dibanding vokalis-vokalis band didalam negri, jika saja dia mau mandi dua kali sehari wajahnya tidak jelek-jelek amad.
“hallo kak...” anak buah Baron pengamen-pengamen kecil itu ada lima orang duduk didekat kami
 “kita makan bersama...” mereka beramai-ramai membuka empat nasi bungkus dibeli dari hasil mengamen, kami menggabungkan bungkusan-bungkusan itu dan melahapnya bersama. Pemandangan selalu terjadi setiap hari di pinggiran kota-kota besar, persaudaraan-persaudaraan dari pingiran kemiskinan inilah yang tetap membuatku bertahan di tempat ini...
Jika melihat orang-orang rapi di kota ini lalu lalang di jalan raya, memandang kami lewat kaca jendela mobil mewah  tatapan jijik  mereka lemparkan pada kami... ah, dunia betapa tidak adilnya ini?
*          *          *
Kuawali pagiku dengan sarapan ditengah-tengah pasar yang tergenang air sebatas ibu jari, jika orang melewatinya mengenakan celana atau rok panjang harus mengangkatnya lebih tinggi
Dari tempat inilah aku menyadari betapa hidup itu kejam dan dari orang-orang ini juga aku memahami arti persaudaraan dan keperdulian sesungguhnya, mereka  mencari nafka ditempat ini kebanyakan bukanlah orang yang berkecukupan, tapi mereka tidak pernah lupa berbagi...
“nduk... sini” kuhabiskan tegukan tehku dan menelan cepat bakwan terakhirku. Aku menghampiri sumber suara... peria China itu memintaku untuk mengangkat karung-karung gandumnya ke mobilnya dengan gerobakku, aku selalu girang tiap kali dia mengunakan jasaku, dia akan memberikanku uang belasan ribu... lumayan disisihkan untuk membayar sewa gubuk tua itu. Jika orang belum mengenalku di Pasar Tradisional ini mereka akan kebingungan mengenalku aku ini laki-laki atau perempuan, karena tubuh kekar dan rambut cepakku hingga mereka sering mengira aku ini adalah laki-laki. Bekerja sebagai kuli di pasar selama bertahun-tahun membentuk otot-ototku menyembul sana sini dan urat-urat tanganku terlihat jelas mengelilingi lenganku...
Keringat mengucur saat tanganku menahan gerobak berisi karung-karung gandum melewati jalanan-jalanan becek, lalu mengangkatnya ke dalam mobil. Ko Ahong menepuk pundaku dan memberikan uang 20.000 ketanganku
“makasih ko”
“sama-sama” ia kembali kemobilnya dan berlalu dari hadapanku
ada yang sedikit berbeda pagi ini dipasar tradisional  tenda didirikan di sudut pasar dan beberapa mobil putih berjejer...
“ada apa bik? kok berbondong-bondong kesana?”tanyaku pada bik Suhehah. Rasa penasaranku memburu ingin tau
“pengobatan geratis tuh, trus meriksa darah segala macem... bibik sudah nih di kasih obat sama buk dokter itu... luamayan...eh, nduk sana kamu minta vitamin geh biar gak gampang sakit” aku mengangguk, kuseka keringatku  mengucur didahi. Aku tertarik dan melangkah ke posko itu, tempatnya lumayan ramai dan harus pakai kertas antri segala. Setelah 30 menit tibalah giliranku. Aku menyibak tirai tenda dan menemui dokter yang ternyata wanita, aku duduk. Ia sedang memilih-milih obat, hingga terlihat punggungnya saja, dibantu oleh beberapa orang juga berpakaian putih-putih. Aku sedikit janggung
            “silakan duduk...” ujarnya masih memunggungiku
“aku sudah duduk kok, buk” jawabku pelan
“oh, maaf yah” dia membalikan tubuhnya
            Tatapan kami bersatu. Waktu seakan berhenti. Detak jantungku sudah berpacu cepat, darahku mengalir deras seperti air terjuan menghempas bumi. Aku berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu
“Clara...” kakiku berhenti. ia menahanku dan memegang pergelangan tanganku.  Aku menghindari kejaran tatapanya...kulepaskan berlahan genggamanya, takut-takut jika tangan halus itu terkotori dengan debu-debu yang menempel di kulitku
“aku bukan Clara” elakku. Dia kembali meraih pergelangan tanganku lalu menuntunku kembali dikursi pasien
“oke... duduklah” sepertinya kali ini dia menghindari perdebatan. Walaupun ingin sekali aku berlari menjauh, namun seperti tersihir aku kembali duduk, gelisah pasang surut menghantam hati. Aku kaku seperti patung kayu yang jadi pajangan. Dia tidak pernah berubah masih harum dan cantik seperti dulu... Statescop bertengger diantara lehernya, lalu ia mulai menyentuh lengaku dan menyingsingkan lengan panjangku  penuh debu ia memasang tensimeter kelanganku memeriksa tensi darah. Aku berusaha menghindari tatapan di balik kacamata minusnya. Setelah itu ia memberikan beberapa obat
“setaminamu bagus. Semuanya normal. Cukup mimun vitamin ini saja...”suaranya sedikit bergetar
“Terimakasih...” aku menarik kakiku dan meninggalkan tenda itu. Tiba-tiba minat kerjaku menghilang, kugenggam erat-erat kantong berwarna putih penih dengan obat-obat. Kususuri pagi kembali kegubuk tuaku. Perjumpaan yang kusesali... aku malu dia melihatku begini
*          *          *
Karena rasa ego lebih menguasi hati dan pikiran. Sebuah persahabatan harus ditukar dengan cinta yang tiba-tiba menjelma menjadi kegilaan  menguasai jiwa. Kecemburuanku pada Sonia telah membakar semua hidupku tidak tersisa seperti kertas dilahap oleh api hanya meninggalkan abu-abu hitam. 
“kenapa sih Clara? ada apa? kenapa kamu tidak pernah lagi mau berbicara padaku? apa masalahnya”
“hidup kamu sudah lengkap kan dengan adanya Rudi? yasudah. Kamu tidak memerlukan aku lagi?” kataku datar. Kuhembuskan asap rokok keudara. Mengacuhkan keberadaannya
“ya ampun. Kamu itu sahabat sekaligus saudaraku. Rudi itu kekasihku” ada sesuatu  mendesir tajam diantara bilik hatiku saat mendengar kata-kata itu keluar dari bibirnya, cemburu. Kubuang rokok yang belum habis kuhisab. Mungkin rasa ini tidak pantas untukku mengingat aku adalah anak angkat dari orang tua Sonia. Diadopsi dari panti asuhan dan di besarkan bersamaa Sonia. Dari pertama melihatnya aku sudah tertarik padanya di usiaku dua belas tahun... besar dikeluarga ini, dianggap seperti anak sendiri membuat hidupku lengkap. Setelah beranjak dewasa mama dan papa menguliahkan kami di Universitas yang sama Sonia dikuliahkan di Fakultas Kedokteran dan aku memilih dikuliahkan Jurusan Sastra
“masalahnya...masalahanya....”
“apa?” susul Sonia. Aku mendekatinya. Mata itu menatapku bingung. Desah nafasnya berhembus dimukaku, semakin membuat rasa itu tidak mampu kubendung. Degup jantungku  tidak tertahan ibarat genderang perang bertaluh-taluh nyaring siap memberikan tanda jika peperangan siap dimulai
“aku mencintaimu” dan aku mengucapkanya lantang
“ya. Wajar kau mencintaiku karena aku ini saudaramu”
“bukan itu, aku mencintaimu lebih dari saudara atau sahabat” aku berteriak. Mendengar pengakuan itu wajah Sonia seperti kapas... ia menatapku tidak berkedip dan ia melangkah pergi tidak meninggalkan sepatah katapun
Setelah pengakuan itu sikap Sonia sedikit berubah. Perhatian Sonia  tidak lagi tertuju padaku, membuatku terbakar api cemburu. Sebuah kegilaan kulakukan karena amarah dan sakit hati. Aku memasuki kamar Sonia. Dia baru selsai mandi, ia menutupi tubuhnya kembali dengan handuk. Aku mendekatinya dan memaksa menciumnya. Tubuhnya tersudut menempel didinding tidak kuasa menghindar
Paaar! sebuah tamparan melayang kencang kepipiku. Melihat reaksi penolakan dari Sonia kupegang kedua lenganya, kutekan kedua lututnya dengan lututku. Ia seperti rusa yang tak lagi berdaya diterkam oleh harimau dengan kuku-kuku tajamnya. Lalu ia menangis histeris. Pasrah. Tenaganya tidak cukup melawan kegilaanku. Namun, melihat air mata meleleh dari kelopak matanya aku terhenyuk, kulepaskan seketika tubuhnya dari cengkramanku... kesadaranku kembali
“maaf” kucium keningnya.
Detik itu juga aku meninggalkan rumah. Tubuhku terasa tidak memijak bumi lagi, terus melangkah mengikuti jalan yang entah menuju kemana dengan air mata terus mengucur, mengikuti setiap mobil dan bis yang siap ditumpangi. Setan apa yang merasuki jiwaku hingga aku tega melakukan itu padanya? Hingga aku tiba di kota ini. Rasa bersalah yang terus menjadi bayangan diri
Mengenang kejadian itu membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, bertahun tahun aku dikejar rasa bersalah betahun-tahun aku tidak punya keberanian untuk meminta maaf pada papa dan mama, aku merasa telah  mendurhakai mereka. Mungkin Sonia telah mengadukan semua tidakanku. Aku sudah cukup tau diri kesalahanku tidak akan dimaafkan... aku benar-benar orang yang tidak tau balas budi
“nduk...” suara mang Nadang dari luar membuyarkan semua lamunanku. Aku melangkah membukakan pintu
“iyah Mang?”
“ini loh nduk, ada yang mau ketemu” mataku terbelalak
“mari bu Dokter” mang Dadang meninggalkan kami berdua. Sonia menatapku, aku menunduk. ia melangkah menuju gubuk tuaku tanpa dipersilakan masuk terlebih dahulu. Matanya beredar mengamati semua ruangan, aku masih membeku didepan pintu, rasanya aku ingin sekali menggali tanah dan masuk ke dalamnya
“dua tahun meninggalkan keluarga dan kuliah… hanya utuk bersembunyi disini” katanya dingin, ia memegang gelas plastik  berada di meja makan yang telah reot, ia menuangkan air putih kemudian duduk di kursi bambu dekat jendela…
“aku tidak bersembunyi…’suaraku hampir tidak terdengar
“lalu apa? menghindari rasa bersalah?” katanya lagi sambil meminum air dari gelas ditanganya
“untuk apa kau kesini?”
“membawamu pulang...”
“pergilah....”
“aku akan menumpang disini, selama dua hari masa tugasku... aku kecapean” ia membuka jas kebesaranya dan menggatungnya didekat jendela
“tempat ini tidak layak untukmu. Pergilah. Kau salah orang?”
“ohya?” Sonia  mendekatiku. Tanganya meraih ganggang pintu lalu menutupnya
“pergilah....” aku kembali mengusirnya dengan nada suara datarku. Sonia saakan tidak perduli dengan kata-kataku, ia malah mendekatkan pipinya. Jantungku bergetar bersama kerinduan  hampir tidak bisa kubendung
“walaupun kau telah berbaur bersama lupur bau mu tidak berubah. Bau permen...”
“ah, sudahlah...” aku menghindarinya mundur beberapa langkah
“apa kau tidak mau memeluk atau menciumku?”
“tidak. Terimakasih...” aku meraih topiku dan meletakanya dikepalaku. Sonia melepas topiku
“baiklah... aku akan pergi, tapi bersamamu. Lagian seharusnya marah itu aku bukan kau”
“aku tidak akan pergi bersamamu. Ini tempatku...”
“tidak pernah berubah tetap keras kepala dan egois. Apa kau benar-benar tidak mau pulang bersamaku?” Sonia meraih tubuhku dan memelukku. Bukankah dia sudah sedekat ini? apa dia tidak membenciku? bau  kurindukan. Tanganku menyaut pelukanya dan mendekap punggungnya. Soniaku. Tangis kami pecah diruangan tak kedap suara itu
“maafkan aku” Akhirnya kengakuhan dan kesombonganku mencair bak lilin tersambar api. Hatiku serasa bebas dari beban berton-ton yang mengikutiku bertahun-tahun karena rasa bersalah itu. Sonia mebiarkan aku menangis lebih lama di pelukanya
 “jika kau ingin dimaafkan olehku pulanglah kerumah bersamaku. Kau harus menemui mama dan papa...”
“mama... papa?apa kau?”
“kau gila. Aku tidak pernah bercerita apapun. Setelah kau pergi dari rumah mama sakit-sakitan. Mereka mengira kepergianmu adalah salah sikap mereka... Mereka minta tolong agar mencarimu dan membawamu pulang” air mataku meleh...
 “jika kau ingin berbakti pada mereka. Pulanglah bersamaku. Selsaikan tugasmu sebagai seorang anak... kau masih mempunyai aku” Sonia meyakinkanku…
“kau tidak membenciku?”
“tidak... aku sangat kehilanganmu. Kumohon kembalilah kerumah” aku mengangguk.
* * * *
“kau akan pergi bersama dokter itu?”
“iya Baron…”
“kenapa?”
“karena dia hidupku…” Baron kembali memetik gitarnya kemudian berhenti saat menyadari kedatangan Sonia diantara kami...
“Sonia...” Sonia mengulurkan tanganya, Baron mengelap telapak tangan dengan ujung bajunya lalu menyambut tangan Sonia
“Baron...”
“terimakasih karena kau sudah menjaga Clara selama ini...”
“sama-sama... kami pasti akan kehilangan Clara”
“kalian tidak akan kehilangan dia seutuhnya. Aku akan memberikan izin dia kesini”
Baron kembali memetik gitarnya lalu suara-suara melo keluar indah dari bibirnya, nyanyian perpisahan yang dia persembahkan untuku. Kami bertiga duduk didepan gubuk tuaku yang sudah dua tahun mejadi tempat penampunganku selaman ini… kucoba memaknai semua lantunan syair-syair Baron. Persahabatan dari jalan-jalan dan kemiskinan telah membuat dia begitu peduli padaku, hanya dia yang memperlakukan aku sebagai wanita sesungguhnya… diam-diam kupandangi ujung matanya yang berair. Hidup inilah adalah pilihan Baron, saat pilihan  tepat didepanku aku tidak akan mungkin menyia-nyiakanya
* * * *

Aku berkeliling disetiap sudut rumah... meluapkan kerinduanku. Mengenang masa kecilku disini. Ah... disetiap tempat mengingatkan aku saat pertama kali Sonia mencairkan kekakuanku  hadir diantara keluarga ini. Ia memberikanku boneka berwarna pink lalu aku menolaknya muka sedih terpancar dari wajah putih bersihnya, kukatakan padanya aku tidak terbiasa main boneka-bonekaan seperti sering ia mainkan, tetapi aku lebih suka bermain  mobil-mobilan atau pistol-pistolan. Keesokan harinya ia meminta papa dan mama membelikan mobil-mobilan dan pistol-pestolan mereka mengabulkanya.
Kami berdua tidak membutuhkan teman lain karena merasa cukup satu sama lain, dimasukan disekolahan dan kelas yang sama. Walaupun aku adalah anak adopsi tapi mama dan papa tidak pernah membedakan aku dan Sonia, itulah sebabnya setelah kulia Sonia mulai dekat dengan Rudi dan mempunyai perasaan lebih pada laki-laki itu, aku merasa kehilangan…
“ngelamun lagi?” Sonia menepuk bahuku.  Menerbangkan semua cerita masa lalu itu
“aku kangen papa… mama. Rumah sepi. Mana mereka?”
“kita akan menemui mereka” Sonia menatp sendu kearahku. Ia menarik tanganku dan menaiki mobilnya
“emang mama dan papa di mana?”
“kita akan menemui mereka” hanya itu jawaban Sonia. Dia banyak diam didalam mobil. setelah beberapa saat Sonia menghentikan mobil disebuah pemakaman... kupastikan dugaanku tidak benar kutatap tajam wajah Sonia yang telah beruraian air mata. Ia menganggukan kepalanya membenarkan dugaanku…
Kupeluk gundukan tanah  telah ditumbuhi rumput
“maafkan aku…” aku mulai meratap. Sonia mengelus-elus rambutku membiarkan aku menumpahkan semua dukaku pada dua gunduka tanah makam papa dan mama.
21.33.00   Posted by Unknown in , , with 4 comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search